Jumat, 12 April 2013

Habib Munzir Al Musawa

Ditulis oleh: Habib Munzir Al Musawa
Sabtu, 2 Januari 2010
Forwardkan pada kekasih-kekasihku di milis….
Malam ini aku tersandar di pembaringan dan terpaku
bertafakkur. Air mata terus mengalir, alangkah lemahnya hamba ini
menghadapi gelombang ombak.
Di hadapanku acara esok malam di Monas. Sedangkan acara
malam Minggu membuat dadaku pecah. Ketika sakit di kepala
belakangku kambuh dan sakitnya terasa... seluruh urat panas membara
sampai ke kuku dan tulang dan puncak sakitnya adalah di kepala
bagian belakang.
Malam Minggu biasanya kutemui 15-20 ribu muslimin, namun
tubuh yang sudah rapuh ini terus merangkak menuju majelis yang
kukira akan menemui jamaah yang lebih banyak.
Ternyata yang kutemui hanya sekitar 300 orang saja. Serasa meledak
dadaku karena sedih dan menahan sakit. Ingin rasanya ku jatuhkan
tubuhku di pangggung dan terserah apa yang akan terjadi.
Dengan tubuh yang terus menahan sakit aku bertahan, mataku
nanar dan panas, wajah dan telinga serasa menjadi tebal bagai
ditampar berkali-kali. Keluhan sakit adalah sebab peradangan otak
yang terus menjadi-jadi.
Aku terus menoleh ke kiri dan kanan, berharap para kekasihku
datang berbondong-bondong meramaikan acara. Namun hanya
beberapa puluh saja duduk di shaf dan sisanya belasan orang berdiri di
sekitar panggung. Gelombang jamaah tidak tiba juga, tak lama tiba
konvoi pun mungkin hanya 50 orang saja.
Aku terhenyak, kepalaku semakin sakit, seluruh tubuhku seakan
berteriak kesakitan tak kuasa menahan sakitnya… Allah... Allah...
Allah… Wahai tubuh penuh dosa kau harus bertahan.
Ceramah selesai, acara ditutup, aku melangkah ke mobil
dengan lemah dan ingin ku teriakkan pada semua orang jangan
satupun menyentuh kulitku karena sangat terasa sakitnya. Namun aku

harus menerima nasibku untuk dikerubuti, mereka datang dan setia
padaku. Mereka orang orang berjiwa Muhammad saw, aku tak boleh
kecewakan mereka.
Aku membatin memandangi jumlah yang sangat sedikit di
hadapan panggung besar dan lapangan bola ini, “Dua belas tahun aku
berdakwah, inilah hasil dakwahku, sisanya adalah buih di lautan.”
Sampai di markas ku rebahkan tubuh penuh derita dengan hati
yang hancur. Ketika mata hampir terlelap, maka aku terhentak bagai
dibentak syaitan, esok malam acara Monas, bagaimana nasibmu
Munzir! Adakah akan seperti ini ini? Hujan akan turun dan kau terpaku
kecewa di hadapan Guru Mulia?
Aku bagai tersengat stroom tegangan tinggi, menangis sekeraskerasnya.
Sakit di kepalaku sudah tak tertahan. Jika ku hantamkan
kepala ini ke tembok hingga kepala ini hancur tidak akan terasa
sakitnya karena sudah dikalahkan oleh sakit yang jauh lebih berat.
Tubuhku gemetar, lalu aku berkata, “Ainiy! Bantu aku
membuka jubah dan sorbanku dan gamisku, bantu aku rebah. Ini
sudah larut malam, makanan apa yang ada Ainiy? Saya lapar, dan perlu
makan sedikit untuk makan obat.”
Ia berkata, “Jam segini wahai Habib sudah tidak ada apa-apa.
Banyak restoran padang dan penjual makanan masih tutup pula karena
liburan panjang.”
“Baiklah, buatkan indomie saja, sekedar pengganjal untuk
makan obat.”

Profesor sudah mengatakan, “Jika sakit di kepala tak mau
hilang dengan obat penahan sakit yang saya berikan, Habib harus
segera ke RSCM untuk suntik otak.”
Berkali-kali memang ia menembuskan jarum sepanjang hampir
15 cm itu ke dalam otakku sedalam-dalamnya… ah… tidak ada waktu
untuk opname… aku harus bertahan… Di hadapanku acara Monas,
pasrah pada Allah.
Lalu saat mata hampir terpejam, pikiranku dihentakkan lagi
dengan beban berikutnya, 12 Rabiul Awal pada 26 Februari…. bulan
depan…! Lalu kedatangan Guru Mulia pada sekitar Maret, mestilah ada
acara akbar pula. Lalu 27 Rajab Isra Mikraj. Lalu Nisfu Sya'ban. Lalu
Badr pada pertengahan Ramadhan. Lalu habisnya massa kontrak
markas MR di bulan Juni.
Aku teringat mimpiku beberapa minggu yang lalu. Aku berdiri
dengan pakaian lusuh bagai kuli yang bekerja sepanjang hari, di
hadapanku Rasulullah saw berdiri di pintu kemah besar dan megah,
seraya bersabda, "Semua orang tak tega melihat kau kelelahan wahai
Munzir, aku lebih tak tega lagi… kembalilah padaku, masuklah kedalam
kemahku dan istirahatlah….”
Kujenguk dalam kemah mewah itu ada Guru Mulia (Habib Umar
bin Hafidz) seraya berkata, "Kalau aku bisa keluar dan masuk ke sini
kapan saja, tapi Engkau wahai Munzir jika masuk kemah ini kau tak
akan kembali ke dunia."
Maka Rasulullah saw terus mengajakku masuk, "Masuklah...
kau sudah kelelahan… kau tak punya rumah di dunia (memang saya
hingga saat ini masih belum punya rumah). Tak ada rumah untukmu di

dunia, karena rumahmu adalah di sini bersamaku… serumah
denganku… seatap denganku…. makan dan mium bersamaku....
masuklah!"
Lalu aku berkata, "Lalu bagaimana dengan Fatah Jakarta?
(Fatah tegaknya panji kedamaian Rasulullah saw).”
Maka beberapa orang menjawab di belakangku, “Wafatmu
akan membangkitkan ribuan hati untuk meneruskan cita-citamu...!
Masuklah…!"
Lalu malaikat Izrail as. menggenggamku dari belakang, ia
memegang dua pundakku, terasa seluruh uratku sudah
digenggamannya, seraya berkata, "Mari… ku antar kau masuk...
mari…"
Maka kutepis tangannnya dan aku berkata, “Saya masih mau
membantu Guru Mulia saya.”
Maka Rasulullah saw memerintahkan Izrail as untuk
melepaskanku.
Aku terbangun….
Semalam ketika aku rebah dalam kegelapan kulihat dua tamu
bertubuh cahaya, namun wajahnya tidak bertentuk kecuali hanya
cahaya. Ia memperkenalkan bahwa ia adalah Izrail as. Kukatakan
padanya, "Belum… belum... aku masih ingin bakti pada Guru Muliaku…
pergilah dulu!” Maka ia pun menghilang raib begitu saja.
Tahun 1993 aku bermimpi berlutut di kaki Rasulullah saw,
menangis rindu tak kuat untuk ingin jumpa. Maka Sang Nabi saw

menepuk pundakku, “Tenang dan sabarlah... sebelum usiamu
mencapai 40 tahun kau sudah kumpul bersamaku."
Usia saya kini 37 tahuh pada 23 Februari 1973, dan usia saya 38
tahun pada 19 Muharram ini.
Peradangan otak ini adalah penyakit terakhirku. Aku senang
wafat dengan penyakit ini, karena Rasulullah saw beberapa bulan
sebelum wafatnya terus mengeluhkan sakit kepala.
Salam rinduku untuk kalian semua jamaah Majelis Rasulullah
saw kelak, jika terjadi sesuatu padaku maka teruskan perjuanganku…
ampuni kesalahanku… kita akan jumpa kelak dengan perjumpaan yang
abadi. Amiin
Kalau usiaku ditakdirkan lebih, maka kita terus berjuang
semampunya, tapi mohon jangan siksa hari-hariku. Hanya itu yang
kuminta.



(Beberapa bulan kemudian ada seseorang yang bertanya di Forum
Tanya Jawab www.majelisrasulullah.org)
Dari Forum Tanya Jawab www.majelisrasulullah.org
13 Juli 2011
From: Astim
Assalamuallaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ya Habib saya Astim yang engkau beri nama Muhammad
Habiburrahman. Sungguh Habib dengan nama itu ana serasa engkau
berikan amanah yang harus ana jaga. Dulu ana suka sekali becanda
t...api setelah menggunakan nama ini, Alhamdulilah ana membatasi
candaan. Habib ana dari kecil ingin menjadi seorang ulama, tapi karena
syarat bekal ana tidak punya jadi keinginan itu terganjal karena orang
tua tidak sanggup memasukan ana ke pesanten. Jujur Habib ana hanya
seorang pendosa, entahlah kalau ana tidak ketemu web MR, mungkin
ana tidak tau apa arti hidup yang sesungguhnya.
Ya habibana… saya membaca satu catatan yang dipublis di FB,
bahwa engkau akan berjumpa dengan semulia-mulianya mahluk Alloh
SWT yaitu datuk Habib, Nabi pemberi syafaat bagi umatnya, Nabi
Muhammad saw. kekasih tercinta. Ana menangis Habib, ana sedih
benarkah di umur 40 tahun engkau akan tinggal bersama baginda
Rasul. Tolong Habib jangan tinggalkan kami Pecinta MR. Ana tidak
sanggup menulis lagi Habib. Salam.
Re: Habib Munzir al Musawa
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu
menaungi hari-hari Anda.
Saudaraku yang kumuliakan, selamat datang di web Para
Pecinta Rasul saw, kita bersaudara dalam kemuliaan.
Saudaraku tercinta, boleh saya ceritakan mimpi saya sekitar
setahun yang lalu… Saya melihat Rasul saw di dalam kemah besar dan
mewah, dan dihadapannya seperti ada bangunan-bangunan yang
sedang dibangun. Hamba berpakaian lusuh dan kotor, kebetulan Rasul
saw melihat hamba dan memanggil hamba. Dengan lembut dan tidak
tega beliau saw berkata, “Wahai munzir, kau sudah kelelahan sekali
bekerja dalam pembangunan ini. Sudah! Masuklah beristirahat di
kemahku.”
Lalu saya dibawa ke kemah beliau saw, saya berdiri dipintu
kemah itu. Saya melihat ada hidangan hidangan dan buah-buahan, dan
Guru Mulia (Habib Umar bin Hafidz) ada di dalamnya. Lalu Guru Mulia
melihat saya, dan berkata, “Wahai Munzir, aku keluar dan masuk ke
kemah ini dengan bebas, namun jika engkau masuk ke sini, kau tak
akan kembali lagi selama-lamanya ke dunia, terserah padamu....”
Maka saya terdiam dan ragu untuk masuk, maka beberapa
malaikat di sekitar saya menghimbau saya untuk masuk kemah dan
beristirahat. Lalu malaikat Izrail as memegang kedua pundak saya dari
belakang dan berkata, “Mari kubimbing kau masuk....”
Pegangannya lembut saja, namun terasa seluruh urat tubuh
saya sudah digenggamannya. Maka saya menolak dan berkata, “Saya
masih ingin bakti pada guru mulia membantu beliau....”
Maka Rasul saw. memberi isyarat pada malaikat Izrail as untuk
melepaskan saya, lalu beliau saw. berkata, “Tempatmu kelak di sini
wahai Munzir, sekemah denganku, seatap denganku, tinggal
bersamaku, kau tak punya rumah di dunia dan akhirat, rumahmu
bersamaku, seatap denganku.” Lalu saya terbangun.
Beberapa bulan kemudian saya berjumpa lagi dengan Rasul
saw. dalam mimpi dan beliau saw. duduk berdampingan dengan saya,
seraya berkata, "Sampai kapan kau menunda ajakanku wahai Munzir?
kupanggilkan Izrail dan Jibril untuk membawamu sekarang?”
Lalu saya menjawab, “Wahai Rasulullah, jikalah saya diizinkan
Allah dan Rasul Nya, saya masih ingin membantu Guru saya.”
Maka Rasul saw tersenyum dan memegang rambut saya sedikit
menjambaknya seperti ayah yang mempermainkan anak kecilnya,
beliau berkata, “Tidak ada yang menolak undanganku kecuali orangorang
aneh semacammu wahai Munzir.” Lalu beliau saw berangkat
dari duduknya sambil tersenyum dan pergi.
Saya terus berdoa, jika saya masih diizinkan Allah swt untuk
berumur panjang dan berbakti pada Allah dan Rasul Nya dalam
dakwah yang dijalankan Guru Mulia saya, maka saya meminta pada
Allah umur panjang. Namun jika kemangkatan saya lebih membawa
manfaat maka saya memilih mangkat, Allah swt Maha Mampu
membuat 1000 orang yang lebih baik dari hamba untuk membimbing
ummat.
Namun harapan saya, saya wafat setelah jakarta menjadi kota
yang beriman, kalau kota Demak disebut kota wali, maka saya bercitacita
Jakarta Kota Sayyidina Muhammad saw. Maksudnya kota yg
beriman, rukun antar ummat beragama, musliminnya mayoritas baik
dan tidak berpecah belah, akidah sudah suci dan tidak terkotori, dan
alhamdulillah semakin hari semakin berjuta ummat yang terbawa
dalam dakwah keluhuran sang Nabi saw. Namun untuk saat ini masih
jauh dari target yang memuaskan kita, maka hamba berharap Allah swt
belum mewafatkan hamba sampai cita-cita hamba tercapai, amiin.
Demikian saudaraku yang kumuliakan, semoga dalam
kebahagiaan selalu, semoga sukses dengan segala cita-cita.
Wallahu a'lam

1 komentar: