Jumat, 12 April 2013

Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa dan Preman

Perjalanan Dakwah ke Kokoda Irian
Barat
-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa
Pagi Kamis 28 januari 2009, subuh berjamaah yang cukup
banyak dan merupakan subuh terbanyak setelah ratusan tahun hampir
tak ada shalat Subuh di Masjid Annur. Suatu hal yang menarik dan
mengejutkan adalah hewan-hewan yang berkhidmat pada kami, ketika
saya keluar menuju Masjid untuk shalat subuh sungguh hati ini
membatin, “Wah...ai Allah, rumah ini tidak ada kuncinya, terbuka begitu
saja hanya dilengkapi pengganjal pintu dari dalam dan luar, sedangkan
di kamar ada laptop dan benda-benda elektronik berharga lainnya, dan
para penjaga semua shalat subuh. Kutititpkan pada Mu Wahai Allah.”.
Sepulang saya dari masjid saya kaget, di pos penjagaan depan rumah
duduk dua ekor kambing yang bangun sambil duduk menjaga dengan
kepala tegak, lalu seekor kambing lagi duduk siaga di depan pintu
rumah sambil bersimpuh, tak ada orang bisa masuk kecuali harus
menginjaknya lebih dahulu.
Saya terpana, sungguh jika sekilas merupakan hal biasa, namun
jika difikirkan dengan logika, tak ada kambing berkeliaran di pagi buta,
apalagi dua ekor duduk bersimpuh di pos jaga yang kosong, dan satu di
pintu rumah dengan keadaan duduk bersimpuh dengan keadaan siaga,
yaitu kepala terangkat. Saya teringat laba-laba yang menjaga
Rasulullah saw dan teringat cerita nyata sahabat saya yang berdakwah
ke Pulau Komodo, Nusa Tenggara, tidak ada orang yang datang ke
masjid, saat maulid dikumandangkan maka tak satupun orang hadir,
maka keluarlah rusa-rusa liar dari hutan, berdatangan ke luar Masjid,
dan banyak komodo bahkan Raja Komodo yg sudah 40 tahun tak
pernah keluar dan terlihat, hewan sangat besar dan langka itu datang
dan muncul bersimpuh di dekat masjid mendengarkan Maulid Nabi
saw hingga selesai. Masyarakat dan turis yang sedang di Pulau komodo
berdatangan bukan ingin hadir maulid tapi kaget menonton Raja
Komodo itu.
Demikianlah alam, mereka tunduk dan hormat pada Sayyidina
Muhammad saw dan dakwah sang Nabi saw. Teringat pula kisah
seorang sahabat ra, yang ketika ia tersesat dalam dakwah setelah
wafatnya Rasul saw, maka seekor singa besar datang. Lalu sahabat
Rasul saw itu bekata, “Aku adalah Khadim (pembantu) Rasulullah
saw!”. Maka singa itu menunduk dan merendahkan kepalanya dan
punggungnya sambil mengaum pelahan, seakan memerintahkan
sahabat Rasul saw itu naik ke punggungnya. Maka ia pun naik dan
singa mengantarnya ke pemukiman
Pernah seorang pemabuk dan preman yang menjadi biang
kriminal bahkan konon sering menyiksa dan membunuh, orang tidak
melihat ia memiliki sifat baik sedikitpun. Namun ketika saya diadukan
tentangnya, pasalnya adalah ketika pemuda sekitar wilayah tersebut
ingin mengadakan majelis, namun takut pada orang itu. Mereka akan
didamprat dan diteror oleh si jahat itu. Ia adalah kepala kejahatan yang
konon k...ebal dan penuh ilmu jahat.
Saya datangi kerumahnya, saya ucapkan salam dan ia tidak
menjawab, ia hanya mendelik dengan bengis sambil melihat saya dari
atas kebawah, seraya berkata, “Mau apa?”
Saya mengulurkan tangan dan ia mengulurkan tangannya dan
saya mencium tangannya, lalu saya pandangi wajahnya dengan lembut
dan penuh keramahan. Saya berkata dengan suara rendah dan lembut,
“Saya mau mewakili pemuda sini, untuk mohon restu dan izin pada
Bapak, agar mereka diizinkan membuat majelis di musholla dekat sini.”
Ia terdiam… roboh terduduk di kursinya dan menunduk. Ia
menutup kedua matanya. Saat ia mengangkat kepalanya saya
tersentak, saya kira ia akan menghardik dan mengusir, ternyata
wajahnya merah dan matanya sudah penuh airmata yang banyak. Ia
tersedu sedu berkata, “Seumur hidup saya belum pernah ada kyai
datang kerumah saya… Lalu kini... Pak Ustadz datang kerumah saya,
mencium tangan saya… tangan ini belum pernah dicium siapapun.
Bahkan anak-anak sayapun jijik pada saya dan tak pernah mencium
tangan saya, semua tamu saya adalah penjahat, mengadukan
musuhnya untuk dibantai, menghamburkan uangnya pada saya agar
saya mau berbuat jahat lagi dan lagi…. Kini datang tamu minta izin
pengajian pada saya. Saya ini bajingan, kenapa minta izin pengajian
suci pada bajingan seperti saya.”
Ia menciumi tangan dan kaki saya sambil menangis, ia bertobat,
ia sholat, dan meninggalkan minuman keras dan criminal.
Konon dia ini sering mabuk, jika sudah mabuk maka tak ada di
kampung itu yang berani keluar rumah. Namun kini terbalik, ia menjadi
pengaman di sana, tak ada orang mabuk berani keluar rumah jika ada
dia.
Dia menjadi kordinator musholla, ia mengatur teman temannya
para preman untuk membersihkan musholla, dipaksanya para anak
buahnya harus hadir majelis, dan demikianlah keadaanya. Ia
bertempat di Legoa, Priok, tempat yang sangat rawan dengan kriminal.
Orang di wilayah itu jika saya datang mereka berbisik bisik, “Jagoan
selatan lagi ketemu jagoan utara!” Mereka kira saya mengalahkannya
dengan ilmu, padahal hanya kelembutan Muhammad saw yang saya
gunakan.
Hingga kini jika saya jumpa dengan beliau ia pasti menangis
memeluk saya. Saya pernah bercanda dengan meneleponnya, saya
katakana, “Tolong saya, tolong datang ke sini, saya dalam keadaan
genting!”
Ia datang dengan Jaket Jeans, celana jeans, dan dari wajahnya
sudah siap tempur. Ia berkata, “Saya siap mati Habib, siapapun yang
berani mengganggu habib sudah bukan urusan habib lagi, biar saya
yang urus dan saya janji akan memotong kupingnya dan
membawakannya pada habib!”
Saya berkata, “Naik saja ke mobil Pak!”
Ia pun naik, saya masuk ke majelis dan mengajaknya hadir, ia
berkata, “Mana orangnya Habib?”

Saya katakana, “Tidak… (saya tertawa) cuma mau mengajak
bapak ke majelis saya, kangen aja.”
Ia pun lemas dan tertunduk malu. Saya menganggapnya ayah
angkat saya hingga kini.
Kejadian lain adalah ketika paman saya mengadakan perjalanan
dari Lampung ke Jakarta. Ia bersama anak-anaknya. Ketika masuk
pelabuhan Bakauhuni Lampung, ia melihat seorang berwajah bengis
dan menakutkan sedang duduk di pintu pelabuhan. Paman saya
bersalam padanya dengan lembut. Si garang itu tidak menjawab dan
wajahnya tanpa ekspresi sedikitpun dan acuh saja. Maka lalu paman
saya membeli tiket kap...al yang ternyata dipalsu oleh calo. Ia terjebak
dalam penipuan. Maka ketika paman saya kebingungan dan mulai
dikerubuti orang yang menonton, maka si garang itu muncul. Semua
orang mundur melihat ia datang, lalu ia berkata, “Ada apa Pak?”
Paman saya bercerita akan penipu itu.
Si Garang berkata, “Bagaimana cirri-ciri orang itu?”
Paman saya menceritakannya….
Si Garang pergi beberapa menit dan kembali sambil menyeret
orang itu yang sudah babak belur dihajarnya. Ia berkata kepada penipu
itu, “Kamu sudah menipu keluarga saya! Ini keluarga saya!” sambil
menunjuk pada paman saya.
Rupanya si garang ini preman penguasa pelabuhan itu.
Bagaimana ia bisa mengakui paman saya sebagai saudaranya?
kenalpun tidak, cuma hanya karena paman saya mengucap salam
padanya dengan ramah. Walau wajahnya tidak berekspresi saat itu,
tapi ternyata hatinya hancur, ia malu dan haru. Mungkin seumur
hidupnya belum pernah ada orang mengucap salam padanya dengan
hormat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar